Minggu, 09 Maret 2014

reaksi imun hipersensitivitas




TUGAS
REAKSI IMUN HIPERSENSITIVITAS

OLEH
RAHMAWATI. A
FEBRIANI JAENTU
FAUZAN S. TOMEYS
MOHAMMAD AKSA



AKADEMI KEPERAWATAN JUSTITIA PALU
TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013

DEFINISI
Alergi atau hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut allergen.Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing. Reaksi hipersensitivitas biasanya disubklasifikasikan menjadi tipe I-IV
Hipersensitivitas yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.
(Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh).

HIPERSENSITIVITAS MENURUK WAKTU
1. Reaksi CEPAT
  • Terjadi hanya hitungan detik dan menghilang setelah beberapa jam. Reaksi ini terjadi akibat persilangan IgE dan antigen. Dimana akan mengeluarkan zat vasoaktif. Karena IgE hanya berada pada basofil.
Reaksi yang dihasilkan adalah berupa Urtikaria, dermatitis alergi, Anafilaksis sistemik.

2. Reaksi INTERMEDIET  
  •  Reaksi ini terjadi setelah beberapa jam dan menghilang selama 24 jam. Reaksi ini terjadi karena pembentukkan IgE dan penghancuran jaringan yang melalui aktivitas komplemen atau sel NK (Natural Killer).
    Reaksi yang dihasilkan dapat berupa Reaksi tranfusi darah, Anemia hemolitik dan Pembentukan kartikosteroid.

3. Reaksi LAMBAT
  • Reaksi lambat terlihat setelah 48 jam (28 hari). Reaksi ini terjadi karena adanya pajanan antigen yang di aktivasi sel T Helper.

HIPERSENSITIVITAS MENURUT GELL DAN COOMBS
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Keadaan ini merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika dengan reaksi yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen. Kalau media terus menerus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai selama 24 jam. Reaksi ini diantarai oleh antibodi IgE (reagin) dan bukan oleh antibodi IgG atau IgM. Hipersensitifitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi igE oleh sel – sel plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel – sel T helper membantu menggalakkan reaksi ini. Antibodi IgE akan terikat dengan reseptor membran pada sel – sel mast yang dijumpai dalam jaringan ikat dan basofil. Pada saat terjadi kontak ulang, antigen akan terikat dengan antibodi igE di dekatnya dan pengikatan ini mengaktifkan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta pelepasan mediator kimia ( histamin, leukotrien dan ECF-A [eosinophil che-motactic factor of anaphylaxis]).
Mediator kimia primer bertanggung jawab atas pelbagai gejala pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru – paru dan traktus gastrointestinal. Gejala klinis ditentukan oleh jumlah alergen, jumlah mediator yang dilepas, sensitivitas target organ dan jalur masuknya alergen. Reaksi hipersensitivitas tipe I dapat mencakup anafilaksis lokal dan sistemik.
 
REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE II
Hipersensitivitas sitotoksik terjadi kalau sistem kekebalan secara keliru mengenali konstituen tubuh yang normal sebagai benda asing. Reaksi ini mungkin merupakan akibat dari antibodi yang melakukan reaksi-hilang dan pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan sel serta jaringan. Hipersensitivitas tipe II meliputi pengikatan antibodi IgG atau IgM dengan antigen yang terikat sel. Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang menjadi tempat antigen terikat.
Reaksi hipersensitivitas tipe II terlibat dalam penyakit miastenia gravis dimana tubuh secara keliru menghasilkan antibodi terhadap reseptor normal ujung saraf. 
REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE III
Reaksi hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen yang terlarut dalam serum.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan IgM yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum membentuk ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga dihasilkanlah mediator-mediator inflamasi seperti anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya juga akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat kerusakan dan menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang ditimbulkan: Systemic Lupus Erythematosus, Erythema Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis, Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.
REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari 12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.
Prosesnya secara umum adalah sebagai berikut:
Ketika tubuh terpajan alergen pertama kali, ia akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke limfonodus regional. Disana ia akan mensensitasi sel Th untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH yang disensitasi terpajan ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas sitokin (berupa IFN-γ, TNF-β, IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF) yang akan menarik dan mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi hipersensitifitas.
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivits tipe IV, yaitu :
a.Reaksi Jones Mote
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi, yang merupakan ciri dari CMI (Baratawidjaya, 2002)
b.Hipersensitivitas Kontak dan Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Sel langerhans sebagai APC memegang peranan pada reaksi ini
c.Reaksi Tuberkulin
Terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear. Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit
d.ReaksiGranuloma
Reaksi granuloma merupakan reaksi hipersensitivitas yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten, sedang reaksi tuberkulin merupakan respon imun seluler oleh antigen mikroorganisme yang sama misalnya M. tuberculosis dan M. Leprae

















DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, EGC
Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. 2007. Urtikaria dan Angiodema dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI
Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Sehati Di Jogjakarta (Keraton Jogjakarta)

Jogjakarta kota pelajar dengan ukiran sejarah yang masih ada di setiap sudut kotanya. Berkunjung ke Jogja merupakan sebuah perjalanan yang s...