TUGAS
REAKSI IMUN
HIPERSENSITIVITAS
OLEH
RAHMAWATI. A
FEBRIANI JAENTU
FAUZAN S. TOMEYS
MOHAMMAD AKSA
AKADEMI KEPERAWATAN JUSTITIA
PALU
TAHUN AKADEMIK 2012 / 2013
DEFINISI
Alergi atau
hipersensitivitas adalah kegagalan kekebalan tubuh di mana tubuh seseorang
menjadi hipersensitif dalam bereaksi secara imunologi terhadap bahan-bahan yang
umumnya nonimunogenik. Dengan kata lain, tubuh manusia bereaksi berlebihan
terhadap lingkungan atau bahan-bahan yang oleh tubuh dianggap asing atau
berbahaya. Bahan-bahan yang menyebabkan hipersensitivitas tersebut disebut
allergen.Hipersensitivitas adalah keadaan perubahan reaktivitas, tubuh bereaksi
dengan respon imun berlebihan atau tidak tepat terhadap suatu benda asing.
Reaksi hipersensitivitas biasanya disubklasifikasikan menjadi tipe I-IV
Hipersensitivitas
yaitu reaksi imun yang patologik, terjadi akibat respon imun yang berlebihan
sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Reaksi hipersensitivitas menurut
Coombs dan Gell dibagi menjadi 4 tipe reaksi berdasarkan kecepatan dan
mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III, dan IV.
(Baratawidjaja, Karnen G. 2006. Imunologi
Dasar Edisi Ke Tujuh).
HIPERSENSITIVITAS MENURUK WAKTU
1. Reaksi CEPAT
- Terjadi hanya hitungan detik dan menghilang setelah beberapa jam. Reaksi ini terjadi akibat persilangan IgE dan antigen. Dimana akan mengeluarkan zat vasoaktif. Karena IgE hanya berada pada basofil.
Reaksi yang
dihasilkan adalah berupa Urtikaria, dermatitis alergi, Anafilaksis
sistemik.
2. Reaksi INTERMEDIET
- Reaksi ini terjadi setelah beberapa jam
dan menghilang selama 24 jam. Reaksi ini terjadi karena pembentukkan IgE
dan penghancuran jaringan yang melalui aktivitas komplemen atau sel NK
(Natural Killer).
Reaksi yang dihasilkan dapat berupa Reaksi tranfusi darah, Anemia hemolitik dan Pembentukan kartikosteroid.
3. Reaksi LAMBAT
- Reaksi lambat terlihat setelah 48 jam (28 hari). Reaksi ini terjadi karena adanya pajanan antigen yang di aktivasi sel T Helper.
HIPERSENSITIVITAS MENURUT GELL DAN COOMBS
REAKSI HIPERSENSITIVITAS TIPE I
Keadaan ini
merupakan hipersensitivitas anafilaktik seketika dengan reaksi yang dimulai
dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen. Kalau media
terus menerus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai selama 24 jam.
Reaksi ini diantarai oleh antibodi IgE (reagin) dan bukan oleh antibodi IgG
atau IgM. Hipersensitifitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen
yang spesifik sehingga terjadi produksi antibodi igE oleh sel – sel plasma.
Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel – sel T helper membantu
menggalakkan reaksi ini. Antibodi IgE akan terikat dengan reseptor membran pada
sel – sel mast yang dijumpai dalam jaringan ikat dan basofil. Pada saat terjadi
kontak ulang, antigen akan terikat dengan antibodi igE di dekatnya dan
pengikatan ini mengaktifkan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta
pelepasan mediator kimia ( histamin, leukotrien dan ECF-A [eosinophil
che-motactic factor of anaphylaxis]).
Mediator
kimia primer bertanggung jawab atas pelbagai gejala pada hipersensitivitas tipe
I karena efeknya pada kulit, paru – paru dan traktus gastrointestinal. Gejala
klinis ditentukan oleh jumlah alergen, jumlah mediator yang dilepas,
sensitivitas target organ dan jalur masuknya alergen. Reaksi hipersensitivitas
tipe I dapat mencakup anafilaksis lokal dan sistemik.
Hipersensitivitas
sitotoksik terjadi kalau sistem kekebalan secara keliru mengenali konstituen
tubuh yang normal sebagai benda asing. Reaksi ini mungkin merupakan akibat dari
antibodi yang melakukan reaksi-hilang dan pada akhirnya dapat menimbulkan
kerusakan sel serta jaringan. Hipersensitivitas tipe II meliputi pengikatan
antibodi IgG atau IgM dengan antigen yang terikat sel. Akibat pengikatan
antigen-antibodi berupa pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang
menjadi tempat antigen terikat.
Reaksi
hipersensitivitas tipe II terlibat dalam penyakit miastenia gravis dimana tubuh
secara keliru menghasilkan antibodi terhadap reseptor normal ujung saraf.
REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE III
Reaksi hipersensitifitas tipe III ini
mirip dengan tipe II, yang melibatkan antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja
pada antigen yang terlarut dalam serum.
Prosesnya adalah sebagai berikut:
Seperti tipe yang lainnya, ketika
antigen pertama kali masuk, ia akan mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan
IgM yang spesifik. Ketika pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan
IgM spesifik ini akan berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum membentuk
ikatan antigen-antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu
tempat dalam jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan
ekstraseluler) sehingga menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun
akan aktif sehingga dihasilkanlah mediator-mediator inflamasi seperti
anafilatoksin, opsonin, kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan
makrofag/sel efektor datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks
antigen antibodi ini mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya
juga akan merusak jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat
kerusakan dan menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam
jangka waktu 2-8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya.
Contoh penyakit yang ditimbulkan: Systemic Lupus Erythematosus, Erythema
Nodosum, Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis,
Elephantiasis (Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.
REAKSI HIPERSENSITIFITAS TIPE IV
Reaksi hipersensitifitas tipe IV
berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena reaksi ini tidak melibatkan antibodi
akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit. Umumnya reaksi ini timbul lebih dari
12 jam stelah pemaparan pada antigen, sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi
hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk reaksi ini bisa berupa jaringan
asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri), protein, bahan kimia yang
dapat menembus kulit, dan lain-lain.
Prosesnya secara umum adalah sebagai
berikut:
Ketika tubuh terpajan alergen pertama
kali, ia akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke limfonodus regional. Disana
ia akan mensensitasi sel Th untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel DTH (Delayed Type Hypersensitivity). Bila sel DTH yang disensitasi terpajan
ulang dengan antigen yang sama, ia akan melepas sitokin (berupa IFN-γ, TNF-β,
IL-2,IL-3) dan kemokin (berupa IL-8, MCAF, MIF) yang akan menarik dan
mengaktifkan makrofag yang berfungsi sebagai sel efektor dalam reaksi
hipersensitifitas.
Ada 4 jenis reaksi hipersensitivits
tipe IV, yaitu :
a.Reaksi Jones Mote
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi, yang merupakan ciri dari CMI (Baratawidjaya, 2002)
b.Hipersensitivitas Kontak dan Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Sel langerhans sebagai APC memegang peranan pada reaksi ini
c.Reaksi Tuberkulin
Terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear. Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit
d.ReaksiGranuloma
Reaksi granuloma merupakan reaksi hipersensitivitas yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten, sedang reaksi tuberkulin merupakan respon imun seluler oleh antigen mikroorganisme yang sama misalnya M. tuberculosis dan M. Leprae
a.Reaksi Jones Mote
Reaksi JM ditandai oleh adanya infiltrasi basofil di bawah epidermis. Reaksi biasanya terjadi sesudah 24 jam tetapi hanya berupa eritem tanpa indurasi, yang merupakan ciri dari CMI (Baratawidjaya, 2002)
b.Hipersensitivitas Kontak dan Dermatitis Kontak
Dermatitis kontak timbul pada kulit tempat kontak dengan alergen. Sel langerhans sebagai APC memegang peranan pada reaksi ini
c.Reaksi Tuberkulin
Terjadi 20 jam setelah terpajan dengan antigen. Reaksi terdiri atas infiltrasi sel mononuklear. Setelah 48 jam timbul infiltrasi limfosit dalam jumlah besar di sekitar pembuluh darah yang merusak hubungan serat-serat kolagen kulit
d.ReaksiGranuloma
Reaksi granuloma merupakan reaksi hipersensitivitas yang paling penting karena menimbulkan banyak efek patologis. Hal tersebut terjadi karena adanya antigen yang persisten di dalam makrofag yang biasanya berupa mikroorganisme yang tidak dapat dihancurkan atau kompleks imun yang menetap misalnya pada alveolitis alergik. Reaksi granuloma terjadi sebagai usaha badan untuk membatasi antigen yang persisten, sedang reaksi tuberkulin merupakan respon imun seluler oleh antigen mikroorganisme yang sama misalnya M. tuberculosis dan M. Leprae
DAFTAR PUSTAKA
Baratawidjaja,
Karnen G. 2006. Imunologi
Dasar Edisi Ke Tujuh. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.Brunner & Suddarth. Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8, EGC
Baskoro, Ari. Soegiarto, Gatot. Effendi, Chairul. Konthen, P.G. 2007. Urtikaria dan Angiodema dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Brooks, Geo F. Butel, Janet S. Morse, Stephen A. 2005. Mikrobiologi Kedokteran Edisi 21. Jakarta: Salemba Medika.
Kresno, Siti Boedina. 2001. Imunologi : Diagnosis dan Prosedur Laboratorium. Jakarta: FKUI
Wahab, A Samik. Julia, Madarina. 2002. Sistem Imun, Imunisasi, & Penyakit Imun. Jakarta: Widya Medika.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar